Sadranan Tradisi Jawa
BAB I
PENDAHULUAN
Tradisi merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Koentjaraningrat memandang bahwa kebudayaan sebagai keseluruan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang didapatkan dengan cara belajar dan kesemuanya itu tersusun di dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990 :45). Kebudayaan adalah bagian dari hasil budi dan daya dapat meningkatkan derajat manusia sebagai makhluk tertinggi Tuhan diantara makhluk-makhluk Tuhan. Melalui kebudayaan manusia beradaptasi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan.
Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa di lepaskan dari kehidupan manusia, dimana pada satu sisi manusia menciptakan budaya sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Betapapun awamnya, kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur jaman. Kebudayaan akan selalu menjadi warisan nenek moyang kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun temurun. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Perkembangan kebudayaan itu sendiri ada yang berlangsung cepat dan ada juga yang berkembang secara perlahan. Fakta dari kebudayaan terus dan akan mengiring atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradapan yang lebih maju. Salah satu kebudayaan tersebut adalah tradisi upacara sadranan menjadi kegiatan rutin bagi sebagian masyarakat Jawa setiap tahun yang dilakukan pada bulan dan hari yang telah ditentukan pada penanggalan Jawa, dinama upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur. Wilayah Jawa bagian pedalaman, sadranan biasa digelar dipemakaman saat menjelang bulan puasa, sedangkan wilayah Jawa bagian pesisir pelaksanaanya di lakukan pada bulan jumadil awal.
Sadranan dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual dan obyeknya. Perbedaan hanya terletak dalam pelaksanaanya. Tradisi sadranan merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur dan Yang Maha Kuasa. Sadrananmerupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga masih tampak lokalitas yang masih Islami.
Budaya masyarakat yang sudah melekat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan sadranan atau nyadranan juga masih menunjukkan adanya budaya Hindu-Budha dan animisme yang dialkuturasikan dengan nilai-nilai Islam. Tradisi Sadranan atau nyadranan ini merupakan kegiatan keagamaan telah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 17 sampai 24 bulan Ruwah (Yahya, 2009 : 67).
Oleh karena itu, untuk mengatasi budaya atau tradisi asli bangsa agar tidak terkikis, perlu adanya usaha-usaha pelestarian. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, dan persatuan. selaim itu juga perlu untuk dipikirkan keberadaan budaya atau tradisi asli bangsa di masa depan. Untuk masa yang akan datang, kebudayaan Indonesia tentu harus bersaing dengan budaya-budaya asing yang beraneka ragam bentuknya. Sekarang ini dapat dirasakan persaingan antara bangsa Indonesia dengan budaya-budaya asing. Demikian pula dengan Tradisi Sadranan di Desa Karang mojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Keberadaan tradisi tersebut, maksud yang ingin dicapai adalah agar Tradisi Sadranan tidak punah dikikis oleh jaman yang semakin moderen.Sehubungan dengan pelestarian Tradisi Sadranantentu saja menemui hambatan, baik secara internal maupun eksternal. Benturan-benturan yang ditemui itu perlu untuk dicari pemecahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sadranan
Sadranan adalah suatu rangkaian budaya yang berupa membersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya kenduri slametan dimakam leluhur.Nyadran atau sadranan adalah tradisi menziarahi kubur para leluhur yang biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (Sya‟ban). Selain berziarah, masyarakat juga membersihkan kuburan lalu membaca doa (Widodo, 2016: 85).
Sadranan sebenarnya sudah ada pada masa masyarakat jawa memeluk agama Hindu-Budha. Kata sadranan sebenarnya berasal dari kata sradha yang artinya upacara “meruwah arwah” pada tahun ke-12 dari kematian seseorang. Setelah Islam datang, dengan melalui proses asimilasi, maka terjadilah tradisi baru Islam yang disebut dengan Nyadran atau Sadranan, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah orang yang mati setiap tahun.
Sementara itu ada pendapat yang mengatakan bahwa sadranan sebenarnya tradisi masyarakat Hindu-Budha, animisme, dan dinamisme. Pada waktu dulu sadranan merupakan bentuk pemujaan terhadap arwah leluhur dan sekaligus meminta keselamatan kepada arwah leluhur. Masyarakat ketika itu biasanya membawa sesajen berupa makanan atau daging mentah, dupa, dan darah. Setelah kedatangan agama Islam, ritual ini masih dipertahankan dengan beberapa perubahan yaitu sadranan dijadikan sebagain ritual untuk mendoakan arwah leluhur agar diberi keselamatan oleh Allah SWT. Sesajen diganti dengan makanan hasil pertanian dan pertenakan.
Sadranan biasanya dilakukan pada tanggal 17-24 Ruwah (Sya‟ban), sesuai dengan adat masing-masing daerah. Setelah membersihkan makam, penduduk selanjutnya membersihkan desa dan jalan. Kegiatan selanjutnya adalah kenduri, slametan, atau bancakan. Kenduri biasanya diadakan disetiap rumah secara bergantian dengan dipimpin oleh sesepuh desa dan menu yang disajikan adalah nasi tumpeng (Muhaimin, 2001: 86)
B. Prosesi sadranan secara umum
Umumnya kegiatan sadrana di pedesaan Jawa setiap tahunnya dilakukan mulai tanggal 17-24 Ruwah (Sya‟ban). Rangkaian kegiatan sadranan ini dilakukan dengan berbagai variasai sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam atau kuburan, dilanjutkan dengan munjung dan ditutup dengan acara kenduri ( Yahya, 2009: 71).
Acara ritual bersih kubur ini merupakan ritual pembuka rangkaian acara sadranan. Bersih kubur merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat desa untuk bersih-bersih kuburan. Biasanya bersih kubur dilakukan pagi hari dengan membawa berbagai macam perlengkapan, seperti sapu lidi, sabit, bunga korek api, bahkan dibeberapa tempat masih menggunakan upet. Upet adalah alat untuk membakar kemeyan, biasaanya terbuat dari mancung kelapa atau kulit bungga kelapa. Setelah membersihkan makam keluarga, mereka memanjatkan doa agar arwah keluarga mereka tentram dialam keabadian (baqa‟) dipimpin oleh ulama desa atau sesepuh desa, setelah bersih-bersih makam, kegiatan selanjutnya dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainya yang mempunyai fungsi sebagai tempat publik.
Setelah bersih kubur, acara selanjutnya dengan acara munjung, yaitu kegiatan saling mengirim makanan kepada para kerabat dan orang-orang yang dihormati. Munjung berasal dari kata kunjung yang artinya medatangi. Munjung biasanya dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang tua. Hal ini disebabkan oleh hal berikut (Muhaimin, 2001: 71). Pertama setiap pengantar makanan biasanya akan diberi sangu (uang saku) oleh kerabat yang di pinjungi atau orang yang dikirimi makanan. Punjungan atau makanan yang dikirim biasanya atas ambeng (tumpeng kecil yang berbentu rumpul), lauk pauk, srundeng, dan yang tidak pernah ketinggalan adalah krupuk merah.
Kedua, pada acara munjung setiap anak harus mengatakan siapa dirinya, siapa ayah dan ibunya, letak rumahnya, dan beberapa informasi lainnya, seperti tingkat berapa di sekolah. Dengan demikian, acara munjung menjadi acara perkenalan bagi anggota keluarga baru, yaitu anak-anak. Cerita-cerita keluarga juga sering disampaikan kepada si anak saat mengantar makanan. Disamping itu juga sebagai penjelasan dari status turunan, misalnya sebutan yang diucapkan anak kepada orang yang di punjung akan segera dikoreksi jika salah. Secara tidak langsung ini menjelaskan bagaimana jaringan kekeluargaan terbangun di sebuah desa.
Setelah munjung selesai kegiatan berikutnya adalah kenduri, slametan, atau bancaan. Kenduri ini biasanya diadakan di setiap rumah, dilakukan secara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain. Di beberapa tempat, kenduri dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di masjid. Upacara kenduri ini dipimpin oleh seorang ulama atau orang yang disepuhkan di desa tersebut. Ulama ini berperan sebagai pembaca doa dalam bahasa Jawa dan Arab (Islam). Nasi tumpung merupakan makanan wajib, jumlah tumpeng disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga yang menyelenggarakannya. Misalnya, jika dalam satu rumah ada dua kepala keluarga, jumlah tumpengnya juga dua. Jumlah tumpeng juga ditentukan oleh siapa yang terlibat dalam upacara. Bagi warga yang tinggal dan bekerja di luar kota atau di luar negri selalu meminta sanak saudaranya untuk membuatkan tumpeng. Permintaan itu menjadi semacam kewajiban untuk memenuhinya. Jadi, kadang disuatu rumah ada belasan tumpeng, terutama jika mereka memiliki kerabat yang banyak di luar kota. Di samping itu, di beberapa tempat kenduri ini juga dilengkapi dengan beberapa makanan, antara lain jenang abang (jenang merah), bubur putih, bubur mrapat (bubur yang digaris dengan warna merah menjadi empat), dan uraban (sayuran), serta bucengan (nasi uduk yang dibuat seperti gunung kecil) (Muhaimin, 2001: 73).
C. Upacara Sadranan Masyarakat Desa Karangmojo
1. Pelaksanaan Tradisi Nyadran dalam Pandangan Tokoh Adat dan Masyarakat Desa Karangmojo
Perlu diketahui bahwa sebelum diadakanya upacara nyadran, masyarakat Desa Karangmojo menyelenggarakan upacara Punggahan dan harus sesuai dengan peraturan adat yang berlaku. Biasanya untuk upacara punggahan jatuh pada tanggal 1-14 Ruwah atau Sya‟ban dan diselenggarakan pada malam hari (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB). Mereka mempercayai bahwa bulan Ruwah atau Sya;ban merupakan bulan magfirah yakni bulan yang penuh ampunan.
Menurut Ibu Siti Saparyati selaku kepala Desa Karangmojo bahwa upacara punggahan sudah ada sejak dulu. Upacara punggahan sendiri berasal dari kata munggah (naik) yakni orang mati dinaikan dai alam kubur. Pada waktu itulah para masyarakat percaya bahwa arwah-arwah yang dinaikan dan diistirahatkan sampai bulan Ramadhan nanti habis. Dimana bulan sebelumnya para arwah mendapat balasan terhadap perbuatanya dimasa hidupnya dan setelah mereka melakukan sedekah punggahan ini mereka berkeyakinan arwah-arwah nenek moyang mereka telah dianggkat ke atas dan di istirahatkan atas balasannya yang mereka perbuat di dunia.
Adapun alat yang digunakan oleh masyarakat Desa Karangmojo dalam punggahan bervariasi. Jika ditarik kesimpulan dari berlengkapan secara garis besar yang menjadi ciri khas punggahan di bagi beberapa jenis yaitu: jenang abang dan ketan. Setelah selesainya punggahan warga desa yang hadir biasannya diberikan bingkisan berupa makanan.
Bapak Muhammad Toha selaku Tokoh Agama mengatakan bahwa dalam acara Punggahan ini apabila tidak mempunyai makanan seperti jenang dan ketan maka dapat diganti dengan yang lain. karena dalam acara tersebut hanya sebagai shodaqoh dari keluarga yang mengadakan dan menjadi amal jariyah bagi yang di punggahi.
Setelah punggahan selesai dilaksanakan, masyarakat Desa Karangmojo menyelenggarakan Nyadran yang berlangsung selama 2 Hari pada tanggal 15 – 16 Ruwah atau Sya‟ban. Menurut Bapak Muhammad Toha, sadranan berasal dari kata sodrun yang artinya dada, yakni melapangkan dada. Dalam pandangan beliau bahwa nyadran adalah melapangankan dada bahwa orang orang yang hidup nantinya akan mati (Toha, Muhammad (Tokoh Agama Dan Adat). Wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 15.00 – 17.00 WIB). Adapun waktu pelaksanaannya yaitu pada sore hari sampai siang hari di area kuburan. Dalam pelaksanaannya nyadran dilakukan 2 kali, yakni sore dan pagi. Yang pertama dilakukan pada sore hari sekitar pukul 20.00 WIB pada tanggal 15.
Ruwah atau Sya‟ban. nyadran yang pertama ini dilakukan oleh laki-laki saja sedangkan wanita menyiapkan makanan untuk esokan harinya. Dalam acara yang pertama nyadran diisi dengan melakukan dzikir tahlil yang nantinya dilanjutkan dengan pengajian. Adapun tempat untuk pelaksanaanya dilakukan di area dalam makam.
Kemudian hari kedua, tradisi nyadran digelar sekitar pukul 08.00 WIB tepatnya tanggal 16 Ruwah atau Sya‟ban. Warga Desa Karangmojo berkumpul di area pemakaman Desa Karangmojo. Sebelum kenduren (Slametan) warga membaca dzikir tahlil dan pengajian. Setelah dilakukannya doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Makannan yang tadi dibawa masing-masing keluarga dikumpulkan dan dido‟akan oleh tokoh adat. Warga desa biasanya menyebutnya dengan kondangan. Setelah selesai warga bebas untuk mengambil makanan yang disukai, milik siapapun yang hadir. Mereka juga saling bertukar makannan.
Setelah selesainya nyadran dan punggahan, upacara selanjutnya ialah mudunan. Menurut Bapak Muhammad Toha mudunan berasal dari kata mudun yang artinya turun. Mudunan ialah suatu upacara terakhir dari serangkaian sadranan yang dilakukan pada bulan Syawal yang bertujuan untuk mendoakan para arwah yang tadinya di naikan dan akan diturunkan kembali supaya dialam kuburnya menjadi lapang dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Dalam upacara mudunan biasanya disi dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan makan bersama. Upacara ini dilaksanakan oleh semua warga desa yang besar maupun muda. Dalam upacara mudunan ini setiap satu keluarga membawa yang menjadi ciri khas seperti: jenang abang, jenang putih, ketan, dan tumpengan.
Menurut bapak Muhammad Toha selaku tokoh agama bahwa makanan tadi apabila tidak membawa tidak apa-apa, karena semuanya hanyalah sebagai bentuk shodaqoh dari masing-masing keluarga yang mengeluarkannya. Karena shodaqoh tidaklah perlu memaksakan harus mengeluarkan.
Ibu Siti Saparyati Mengatakan tradisi sadranan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Sadranan ini utamanya untuk mengirim doa kepada para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Memohon kepada Allah SWT agar dosa-dosanya dapat diampuni mendapat tempat yang layak disisis Tuhan. Selain itu juga untukmelestarikan tradisi yang sudah menjadi budaya peninggalan nenek moyang (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
Upacara ritual Sadranan di maknai pula sebagai bentuk upacara peralihan saranan mendoakan orang yang sudah meninggal dan sebagai saranan penghilang petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukan bahwa upacara itu merupakan penghayatan unsur kepercayaan lama. Pada tradisi sadranan diadakan slametan, dengan harapan supaya keluarga terhindar dari mala petaka dan sebagai saranan mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Ibu Siti Saparyati selaku kepala Desa mengatakan bahwa tradisi sadranan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun menurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi sadranan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebab-sebab untuk melakukan tradisi sadranan tersebut (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
2. Makna Tradisi Sadranan Di Desa Karangmojo
Pada umumnya sadranan merupakan bentuk ritual melalui doa dan sedekah, yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah atau orang-orang yang sudah meninggal. Tentu bahwa efek dari doa tersebut akan memberikan pembalikan energi, yang akan mengenai para pelakunya. Artinya dengan mendoakan mereka yang sudah meninggal, maka yang melakukan doa akan mendapatkan efek balik energi positif bagi pelakunya.
Tradisi ini merupakan ritus rohani, di mana orang-orang yang memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal anggota keluarga yang sudah meninggal bersama-sama membawa sejumlah jenis makanan ke komplek pemakaman untuk kemudian saling memakan yang dibawa itu sebagai upacara sedekah. Selain itu tradisi sadranan pada hakikatnya ialah sebagai saranan menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama.
Ibu Siti Saparyati selaku kepala desa mengatakan bahwa tradisi sadranan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun menurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi sadranan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebab-sebab untuk melakukan tradisi sadranan tersebut (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
Tradisi Sadranan sendiri bertujuan sebagai bentuk upacara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan supaya orang yang sudah meninggal diampuni dosa-dosanya dan tenang dialam kubur. Namun ada motivasi lain yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara nyadran ini, yaitu aspek kepercayaan lama dan aspek primodial. Adapun aspek kepercayaan lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus-ritus sebagai sarana mutlak agar warga desa terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan kemurkaan arwah leluhur . malapetaka itu dapat dihindarkan hanya jika warga desa secara tertib melaksanakan ritus-ritus dengan memberikan korban dalam bentuk aneka sesaji kepada arwah leluhur.
Adapun aspek solidaritas primodial, terutama adat istiadat yang secara turun menurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Adat istiadat yang berkaitan dengan nyadran juga mencerminkan salah satu etik sosial kelompoknya (golongan bangsawan). Mengabaikan adat istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu dapat dinilai sebagai suatu yang tidak memperlihatkan watak golongan bangsawan. Mengabaikan adat istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan dimata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranataan dan leluhur, melaikan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya.
Menurut bapak Mohammad Toha selaku tokoh Agama dan Adat mengatakan bahwa tujuan dari sadranan ialah sebagai salah satu bentuk shodaqoh dari masing-masing keluarga. Sebab dari masing-masing keluarga tersebut sudah suka rela mengeluarkan harta mereka untuk melaksanakan tradisi sadranan tersebut.
Secara garis besar, tradisi Sadranan di Desa Karangmojo, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali memiliki makna sebagai berikut:
a. Diadakanya selametan dalam pelaksanaanya adalah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia mendapat ampunan dari Allah SWT dan yang masih hidup agar memperoleh keselamatan.
b. Tolong menolong dan shodaqoh, dengan mengeluarkannya biaya dalam menyediakan hidangan-hidangan dalam pelaksannanya merupakan suatu sarana untuk menalakukan shodaqoh dan usaha tolong menolong karena yang hadir dalam pelaksanaannya tradisi Sadranan itu hanya orang-orang kaya, akan tetapi ada juga fakir miskin yang perlu ditolong. Sementara bagi orang kaya diharapkan do‟anya dalam tradisi itu sendiri.
c. Mempererat tali persaudaraan dalam bermasyarakat, dalam acara selametan dengan nasi tumpeng atau berkat kepada para warga yang hadir akan tercipta kerukunan dan ketentraman sesama mahluk sosial.
d. Menghormati tradisi, karenan menghadiri upacara tradisi Sadranan adalah upaya melestarikan tradisi sebagai masyarakat Jawa.
Berdasarkan makna didalam tradisi Sadranan, maka tujuanya utama adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya orang yang sudah meninggal dunia mendapatkan ampunan dan mengharapkan keselamatan bagi yang masih hidup agar terhindar dari malapetaka. Dengan adanya makanan-makanan untuk menginterprestasikan melalui makna dan simbol tersebut, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam kehidupan mereka. Dari penginterpretasian simbol-simbol tersebut, maka terlihat adanya dua arah hubungan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Yaitu hubungan antara vertical dan horizontal. Hubungan vertical menunjukan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai tempat untuk memohon keselamatan. Sedangkan hubungan manusia secara horizontal adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sadranan adalah suatu rangkaian budaya yang berupa membersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya kenduri slametan dimakam leluhur. Upacara ritual Sadranan di maknai sebagai bentuk upacara peralihan saranan mendoakan orang yang sudah meninggal dan sebagai saranan penghilang petaka. Tradisi Sadranan bertujuan sebagai bentuk upacara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan supaya orang yang sudah meninggal diampuni dosa-dosanya dan tenang dialam kubur.
Tujuan utama sadranan adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya orang yang sudah meninggal dunia mendapatkan ampunan dan mengharapkan keselamatan bagi yang masih hidup agar terhindar dari malapetaka. Dengan adanya makanan-makanan untuk menginterprestasikan melalui makna dan simbol tersebut, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam kehidupan mereka. Dari penginterpretasian simbol-simbol tersebut, maka terlihat adanya dua arah hubungan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Yaitu hubungan antara vertical dan horizontal. Hubungan vertical menunjukan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai tempat untuk memohon keselamatan. Sedangkan hubungan manusia secara horizontal adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman.
Saran
Dalam menyikapi adat kepercayaan lama, diharapkan bagi semua orang untuk dapat mencermati bentuk kepercayaan tersebut dan mengkaji bagaimana kepercayaan tersebut dibangun. Serta bagi masyarakat Jawa, berkaitan dengan tradisi sadranan tersebut harusnya perlu dilestarikan keberadaannya karena selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sadranan juga difungsikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Daftar Pustaka :
Koenjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi . Jakarta : Rineka Cipta.
Muhaimin. 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB.
Toha, Muhammad (Tokoh Agama Dan Adat). Wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 15.00 – 17.00 WIB.
Widodo, Aris. 2016. Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Yahya, Ismail. 2009. Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam Adakah Pertentangan?. Jakarta Timur: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Yahya. Ismail. 2009. Adat-adat Jawa Dalam Bulan-bulan Islam. Jakarta : Inti Media.
PENDAHULUAN
Tradisi merupakan suatu bagian dari kebudayaan. Koentjaraningrat memandang bahwa kebudayaan sebagai keseluruan dari kelakuan dan hasil kelakuan yang didapatkan dengan cara belajar dan kesemuanya itu tersusun di dalam kehidupan masyarakat (Koentjaraningrat, 1990 :45). Kebudayaan adalah bagian dari hasil budi dan daya dapat meningkatkan derajat manusia sebagai makhluk tertinggi Tuhan diantara makhluk-makhluk Tuhan. Melalui kebudayaan manusia beradaptasi dengan lingkungan dalam memenuhi kebutuhan hidup agar dapat bertahan dalam kehidupan.
Kebudayaan merupakan elemen yang tidak bisa di lepaskan dari kehidupan manusia, dimana pada satu sisi manusia menciptakan budaya sekaligus produk dari budaya tempat dia hidup, hubungan saling pengaruh ini merupakan salah satu bukti bahwa manusia tidak mungkin hidup tanpa budaya. Betapapun awamnya, kehidupan berbudaya merupakan ciri khas manusia dan akan terus hidup melintasi alur jaman. Kebudayaan akan selalu menjadi warisan nenek moyang kebudayaan membentuk kebiasaan hidup sehari-hari yang diwariskan turun temurun. Kebudayaan tumbuh dan berkembang dalam kehidupan manusia dan hampir selalu mengalami proses penciptaan kembali.
Perkembangan kebudayaan itu sendiri ada yang berlangsung cepat dan ada juga yang berkembang secara perlahan. Fakta dari kebudayaan terus dan akan mengiring atau digiring oleh manusia menuju tingkat peradapan yang lebih maju. Salah satu kebudayaan tersebut adalah tradisi upacara sadranan menjadi kegiatan rutin bagi sebagian masyarakat Jawa setiap tahun yang dilakukan pada bulan dan hari yang telah ditentukan pada penanggalan Jawa, dinama upacara ini merupakan penghormatan kepada leluhur. Wilayah Jawa bagian pedalaman, sadranan biasa digelar dipemakaman saat menjelang bulan puasa, sedangkan wilayah Jawa bagian pesisir pelaksanaanya di lakukan pada bulan jumadil awal.
Sadranan dengan ziarah kubur merupakan dua ekspresi kultural keagamaan yang memiliki kesamaan dalam ritual dan obyeknya. Perbedaan hanya terletak dalam pelaksanaanya. Tradisi sadranan merupakan simbol adanya hubungan dengan para leluhur dan Yang Maha Kuasa. Sadrananmerupakan sebuah pola ritual yang mencampurkan budaya lokal dan nilai-nilai Islam, sehingga masih tampak lokalitas yang masih Islami.
Budaya masyarakat yang sudah melekat menjadikan masyarakat Jawa sangat menjunjung tinggi nilai-nilai luhur dari kebudayaan itu. Dengan demikian tidak mengherankan jika pelaksanaan sadranan atau nyadranan juga masih menunjukkan adanya budaya Hindu-Budha dan animisme yang dialkuturasikan dengan nilai-nilai Islam. Tradisi Sadranan atau nyadranan ini merupakan kegiatan keagamaan telah menjadi tradisi masyarakat Jawa yang dilaksanakan setiap tahun pada tanggal 17 sampai 24 bulan Ruwah (Yahya, 2009 : 67).
Oleh karena itu, untuk mengatasi budaya atau tradisi asli bangsa agar tidak terkikis, perlu adanya usaha-usaha pelestarian. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan adab, budaya, dan persatuan. selaim itu juga perlu untuk dipikirkan keberadaan budaya atau tradisi asli bangsa di masa depan. Untuk masa yang akan datang, kebudayaan Indonesia tentu harus bersaing dengan budaya-budaya asing yang beraneka ragam bentuknya. Sekarang ini dapat dirasakan persaingan antara bangsa Indonesia dengan budaya-budaya asing. Demikian pula dengan Tradisi Sadranan di Desa Karang mojo Kecamatan Klego Kabupaten Boyolali. Keberadaan tradisi tersebut, maksud yang ingin dicapai adalah agar Tradisi Sadranan tidak punah dikikis oleh jaman yang semakin moderen.Sehubungan dengan pelestarian Tradisi Sadranantentu saja menemui hambatan, baik secara internal maupun eksternal. Benturan-benturan yang ditemui itu perlu untuk dicari pemecahannya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian sadranan
Sadranan adalah suatu rangkaian budaya yang berupa membersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya kenduri slametan dimakam leluhur.Nyadran atau sadranan adalah tradisi menziarahi kubur para leluhur yang biasanya dilakukan pada bulan Ruwah (Sya‟ban). Selain berziarah, masyarakat juga membersihkan kuburan lalu membaca doa (Widodo, 2016: 85).
Sadranan sebenarnya sudah ada pada masa masyarakat jawa memeluk agama Hindu-Budha. Kata sadranan sebenarnya berasal dari kata sradha yang artinya upacara “meruwah arwah” pada tahun ke-12 dari kematian seseorang. Setelah Islam datang, dengan melalui proses asimilasi, maka terjadilah tradisi baru Islam yang disebut dengan Nyadran atau Sadranan, yaitu upacara mengirim doa kepada arwah orang yang mati setiap tahun.
Sementara itu ada pendapat yang mengatakan bahwa sadranan sebenarnya tradisi masyarakat Hindu-Budha, animisme, dan dinamisme. Pada waktu dulu sadranan merupakan bentuk pemujaan terhadap arwah leluhur dan sekaligus meminta keselamatan kepada arwah leluhur. Masyarakat ketika itu biasanya membawa sesajen berupa makanan atau daging mentah, dupa, dan darah. Setelah kedatangan agama Islam, ritual ini masih dipertahankan dengan beberapa perubahan yaitu sadranan dijadikan sebagain ritual untuk mendoakan arwah leluhur agar diberi keselamatan oleh Allah SWT. Sesajen diganti dengan makanan hasil pertanian dan pertenakan.
Sadranan biasanya dilakukan pada tanggal 17-24 Ruwah (Sya‟ban), sesuai dengan adat masing-masing daerah. Setelah membersihkan makam, penduduk selanjutnya membersihkan desa dan jalan. Kegiatan selanjutnya adalah kenduri, slametan, atau bancakan. Kenduri biasanya diadakan disetiap rumah secara bergantian dengan dipimpin oleh sesepuh desa dan menu yang disajikan adalah nasi tumpeng (Muhaimin, 2001: 86)
B. Prosesi sadranan secara umum
Umumnya kegiatan sadrana di pedesaan Jawa setiap tahunnya dilakukan mulai tanggal 17-24 Ruwah (Sya‟ban). Rangkaian kegiatan sadranan ini dilakukan dengan berbagai variasai sesuai dengan adat masing-masing daerah. Pada umumnya sadranan diawali dengan bersih-bersih makam atau kuburan, dilanjutkan dengan munjung dan ditutup dengan acara kenduri ( Yahya, 2009: 71).
Acara ritual bersih kubur ini merupakan ritual pembuka rangkaian acara sadranan. Bersih kubur merupakan kegiatan yang melibatkan seluruh masyarakat desa untuk bersih-bersih kuburan. Biasanya bersih kubur dilakukan pagi hari dengan membawa berbagai macam perlengkapan, seperti sapu lidi, sabit, bunga korek api, bahkan dibeberapa tempat masih menggunakan upet. Upet adalah alat untuk membakar kemeyan, biasaanya terbuat dari mancung kelapa atau kulit bungga kelapa. Setelah membersihkan makam keluarga, mereka memanjatkan doa agar arwah keluarga mereka tentram dialam keabadian (baqa‟) dipimpin oleh ulama desa atau sesepuh desa, setelah bersih-bersih makam, kegiatan selanjutnya dengan membersihkan jalan-jalan, pasar, balai desa atau tempat lainya yang mempunyai fungsi sebagai tempat publik.
Setelah bersih kubur, acara selanjutnya dengan acara munjung, yaitu kegiatan saling mengirim makanan kepada para kerabat dan orang-orang yang dihormati. Munjung berasal dari kata kunjung yang artinya medatangi. Munjung biasanya dilakukan oleh anak-anak, bahkan orang tua. Hal ini disebabkan oleh hal berikut (Muhaimin, 2001: 71). Pertama setiap pengantar makanan biasanya akan diberi sangu (uang saku) oleh kerabat yang di pinjungi atau orang yang dikirimi makanan. Punjungan atau makanan yang dikirim biasanya atas ambeng (tumpeng kecil yang berbentu rumpul), lauk pauk, srundeng, dan yang tidak pernah ketinggalan adalah krupuk merah.
Kedua, pada acara munjung setiap anak harus mengatakan siapa dirinya, siapa ayah dan ibunya, letak rumahnya, dan beberapa informasi lainnya, seperti tingkat berapa di sekolah. Dengan demikian, acara munjung menjadi acara perkenalan bagi anggota keluarga baru, yaitu anak-anak. Cerita-cerita keluarga juga sering disampaikan kepada si anak saat mengantar makanan. Disamping itu juga sebagai penjelasan dari status turunan, misalnya sebutan yang diucapkan anak kepada orang yang di punjung akan segera dikoreksi jika salah. Secara tidak langsung ini menjelaskan bagaimana jaringan kekeluargaan terbangun di sebuah desa.
Setelah munjung selesai kegiatan berikutnya adalah kenduri, slametan, atau bancaan. Kenduri ini biasanya diadakan di setiap rumah, dilakukan secara bergantian dari satu rumah ke rumah yang lain. Di beberapa tempat, kenduri dilakukan secara bersamaan atau dilaksanakan di masjid. Upacara kenduri ini dipimpin oleh seorang ulama atau orang yang disepuhkan di desa tersebut. Ulama ini berperan sebagai pembaca doa dalam bahasa Jawa dan Arab (Islam). Nasi tumpung merupakan makanan wajib, jumlah tumpeng disesuaikan dengan jumlah kepala keluarga yang menyelenggarakannya. Misalnya, jika dalam satu rumah ada dua kepala keluarga, jumlah tumpengnya juga dua. Jumlah tumpeng juga ditentukan oleh siapa yang terlibat dalam upacara. Bagi warga yang tinggal dan bekerja di luar kota atau di luar negri selalu meminta sanak saudaranya untuk membuatkan tumpeng. Permintaan itu menjadi semacam kewajiban untuk memenuhinya. Jadi, kadang disuatu rumah ada belasan tumpeng, terutama jika mereka memiliki kerabat yang banyak di luar kota. Di samping itu, di beberapa tempat kenduri ini juga dilengkapi dengan beberapa makanan, antara lain jenang abang (jenang merah), bubur putih, bubur mrapat (bubur yang digaris dengan warna merah menjadi empat), dan uraban (sayuran), serta bucengan (nasi uduk yang dibuat seperti gunung kecil) (Muhaimin, 2001: 73).
C. Upacara Sadranan Masyarakat Desa Karangmojo
1. Pelaksanaan Tradisi Nyadran dalam Pandangan Tokoh Adat dan Masyarakat Desa Karangmojo
Perlu diketahui bahwa sebelum diadakanya upacara nyadran, masyarakat Desa Karangmojo menyelenggarakan upacara Punggahan dan harus sesuai dengan peraturan adat yang berlaku. Biasanya untuk upacara punggahan jatuh pada tanggal 1-14 Ruwah atau Sya‟ban dan diselenggarakan pada malam hari (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB). Mereka mempercayai bahwa bulan Ruwah atau Sya;ban merupakan bulan magfirah yakni bulan yang penuh ampunan.
Menurut Ibu Siti Saparyati selaku kepala Desa Karangmojo bahwa upacara punggahan sudah ada sejak dulu. Upacara punggahan sendiri berasal dari kata munggah (naik) yakni orang mati dinaikan dai alam kubur. Pada waktu itulah para masyarakat percaya bahwa arwah-arwah yang dinaikan dan diistirahatkan sampai bulan Ramadhan nanti habis. Dimana bulan sebelumnya para arwah mendapat balasan terhadap perbuatanya dimasa hidupnya dan setelah mereka melakukan sedekah punggahan ini mereka berkeyakinan arwah-arwah nenek moyang mereka telah dianggkat ke atas dan di istirahatkan atas balasannya yang mereka perbuat di dunia.
Adapun alat yang digunakan oleh masyarakat Desa Karangmojo dalam punggahan bervariasi. Jika ditarik kesimpulan dari berlengkapan secara garis besar yang menjadi ciri khas punggahan di bagi beberapa jenis yaitu: jenang abang dan ketan. Setelah selesainya punggahan warga desa yang hadir biasannya diberikan bingkisan berupa makanan.
Bapak Muhammad Toha selaku Tokoh Agama mengatakan bahwa dalam acara Punggahan ini apabila tidak mempunyai makanan seperti jenang dan ketan maka dapat diganti dengan yang lain. karena dalam acara tersebut hanya sebagai shodaqoh dari keluarga yang mengadakan dan menjadi amal jariyah bagi yang di punggahi.
Setelah punggahan selesai dilaksanakan, masyarakat Desa Karangmojo menyelenggarakan Nyadran yang berlangsung selama 2 Hari pada tanggal 15 – 16 Ruwah atau Sya‟ban. Menurut Bapak Muhammad Toha, sadranan berasal dari kata sodrun yang artinya dada, yakni melapangkan dada. Dalam pandangan beliau bahwa nyadran adalah melapangankan dada bahwa orang orang yang hidup nantinya akan mati (Toha, Muhammad (Tokoh Agama Dan Adat). Wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 15.00 – 17.00 WIB). Adapun waktu pelaksanaannya yaitu pada sore hari sampai siang hari di area kuburan. Dalam pelaksanaannya nyadran dilakukan 2 kali, yakni sore dan pagi. Yang pertama dilakukan pada sore hari sekitar pukul 20.00 WIB pada tanggal 15.
Ruwah atau Sya‟ban. nyadran yang pertama ini dilakukan oleh laki-laki saja sedangkan wanita menyiapkan makanan untuk esokan harinya. Dalam acara yang pertama nyadran diisi dengan melakukan dzikir tahlil yang nantinya dilanjutkan dengan pengajian. Adapun tempat untuk pelaksanaanya dilakukan di area dalam makam.
Kemudian hari kedua, tradisi nyadran digelar sekitar pukul 08.00 WIB tepatnya tanggal 16 Ruwah atau Sya‟ban. Warga Desa Karangmojo berkumpul di area pemakaman Desa Karangmojo. Sebelum kenduren (Slametan) warga membaca dzikir tahlil dan pengajian. Setelah dilakukannya doa bersama yang dipimpin oleh pemuka agama setempat. Makannan yang tadi dibawa masing-masing keluarga dikumpulkan dan dido‟akan oleh tokoh adat. Warga desa biasanya menyebutnya dengan kondangan. Setelah selesai warga bebas untuk mengambil makanan yang disukai, milik siapapun yang hadir. Mereka juga saling bertukar makannan.
Setelah selesainya nyadran dan punggahan, upacara selanjutnya ialah mudunan. Menurut Bapak Muhammad Toha mudunan berasal dari kata mudun yang artinya turun. Mudunan ialah suatu upacara terakhir dari serangkaian sadranan yang dilakukan pada bulan Syawal yang bertujuan untuk mendoakan para arwah yang tadinya di naikan dan akan diturunkan kembali supaya dialam kuburnya menjadi lapang dan mendapat ampunan dari Allah SWT. Dalam upacara mudunan biasanya disi dengan pembacaan doa dan dilanjutkan dengan makan bersama. Upacara ini dilaksanakan oleh semua warga desa yang besar maupun muda. Dalam upacara mudunan ini setiap satu keluarga membawa yang menjadi ciri khas seperti: jenang abang, jenang putih, ketan, dan tumpengan.
Menurut bapak Muhammad Toha selaku tokoh agama bahwa makanan tadi apabila tidak membawa tidak apa-apa, karena semuanya hanyalah sebagai bentuk shodaqoh dari masing-masing keluarga yang mengeluarkannya. Karena shodaqoh tidaklah perlu memaksakan harus mengeluarkan.
Ibu Siti Saparyati Mengatakan tradisi sadranan ini sudah ada sejak zaman nenek moyang. Tradisi ini dimaksudkan untuk mendoakan para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Sadranan ini utamanya untuk mengirim doa kepada para leluhur dan sanak keluarga yang telah meninggal dunia. Memohon kepada Allah SWT agar dosa-dosanya dapat diampuni mendapat tempat yang layak disisis Tuhan. Selain itu juga untukmelestarikan tradisi yang sudah menjadi budaya peninggalan nenek moyang (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
Upacara ritual Sadranan di maknai pula sebagai bentuk upacara peralihan saranan mendoakan orang yang sudah meninggal dan sebagai saranan penghilang petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukan bahwa upacara itu merupakan penghayatan unsur kepercayaan lama. Pada tradisi sadranan diadakan slametan, dengan harapan supaya keluarga terhindar dari mala petaka dan sebagai saranan mendekatkan diri kepada sang pencipta.
Ibu Siti Saparyati selaku kepala Desa mengatakan bahwa tradisi sadranan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun menurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi sadranan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebab-sebab untuk melakukan tradisi sadranan tersebut (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
2. Makna Tradisi Sadranan Di Desa Karangmojo
Pada umumnya sadranan merupakan bentuk ritual melalui doa dan sedekah, yang dimaksudkan untuk mendoakan arwah atau orang-orang yang sudah meninggal. Tentu bahwa efek dari doa tersebut akan memberikan pembalikan energi, yang akan mengenai para pelakunya. Artinya dengan mendoakan mereka yang sudah meninggal, maka yang melakukan doa akan mendapatkan efek balik energi positif bagi pelakunya.
Tradisi ini merupakan ritus rohani, di mana orang-orang yang memiliki anggota keluarga yang sudah meninggal anggota keluarga yang sudah meninggal bersama-sama membawa sejumlah jenis makanan ke komplek pemakaman untuk kemudian saling memakan yang dibawa itu sebagai upacara sedekah. Selain itu tradisi sadranan pada hakikatnya ialah sebagai saranan menghilangkan petaka. Jadi semacam inisiasi yang menunjukan bahwa upacara-upacara itu merupakan penghayatan unsur-unsur kepercayaan lama.
Ibu Siti Saparyati selaku kepala desa mengatakan bahwa tradisi sadranan telah tertanam begitu kuat dalam masyarakat yang menganut budaya tersebut. Melalui pewarisan yang turun menurun di lingkungan keluarga dan masyarakat, nilai itu menghujam masuk dalam wilayah emosional seseorang karena sejak kecil telah dibiasakan dengan adat istiadat Jawa yang tumbuh dalam keluarga maupun masyarakatnya. Oleh karena itu, dalam masyarakat Jawa menganggap bahwa tradisi sadranan merupakan suatu upacara ritual adat Jawa yang harus dilaksanakan apabila mengalami sebab-sebab untuk melakukan tradisi sadranan tersebut (Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB).
Tradisi Sadranan sendiri bertujuan sebagai bentuk upacara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan supaya orang yang sudah meninggal diampuni dosa-dosanya dan tenang dialam kubur. Namun ada motivasi lain yang mendorong dilakukannya penyelenggaraan rangkaian upacara nyadran ini, yaitu aspek kepercayaan lama dan aspek primodial. Adapun aspek kepercayaan lama, sangat diyakini untuk melakukan ritus-ritus sebagai sarana mutlak agar warga desa terhindar dari malapetaka yang ditimbulkan kemurkaan arwah leluhur . malapetaka itu dapat dihindarkan hanya jika warga desa secara tertib melaksanakan ritus-ritus dengan memberikan korban dalam bentuk aneka sesaji kepada arwah leluhur.
Adapun aspek solidaritas primodial, terutama adat istiadat yang secara turun menurun dilestarikan oleh kelompok sosialnya. Adat istiadat yang berkaitan dengan nyadran juga mencerminkan salah satu etik sosial kelompoknya (golongan bangsawan). Mengabaikan adat istiadat yang mencerminkan salah satu etik itu dapat dinilai sebagai suatu yang tidak memperlihatkan watak golongan bangsawan. Mengabaikan adat istiadat mengakibatkan celaan dan nama buruk bagi keluarga yang bersangkutan dimata kelompok sosialnya. Karena ulahnya itu bukan saja dinilai tidak sesuai dengan etik status sosial golongan bangsawan, tidak menghormati pranataan dan leluhur, melaikan juga dapat merusak keseimbangan tata hidup kelompok sosialnya.
Menurut bapak Mohammad Toha selaku tokoh Agama dan Adat mengatakan bahwa tujuan dari sadranan ialah sebagai salah satu bentuk shodaqoh dari masing-masing keluarga. Sebab dari masing-masing keluarga tersebut sudah suka rela mengeluarkan harta mereka untuk melaksanakan tradisi sadranan tersebut.
Secara garis besar, tradisi Sadranan di Desa Karangmojo, Kecamatan Klego, Kabupaten Boyolali memiliki makna sebagai berikut:
a. Diadakanya selametan dalam pelaksanaanya adalah untuk mendoakan orang yang sudah meninggal dunia mendapat ampunan dari Allah SWT dan yang masih hidup agar memperoleh keselamatan.
b. Tolong menolong dan shodaqoh, dengan mengeluarkannya biaya dalam menyediakan hidangan-hidangan dalam pelaksannanya merupakan suatu sarana untuk menalakukan shodaqoh dan usaha tolong menolong karena yang hadir dalam pelaksanaannya tradisi Sadranan itu hanya orang-orang kaya, akan tetapi ada juga fakir miskin yang perlu ditolong. Sementara bagi orang kaya diharapkan do‟anya dalam tradisi itu sendiri.
c. Mempererat tali persaudaraan dalam bermasyarakat, dalam acara selametan dengan nasi tumpeng atau berkat kepada para warga yang hadir akan tercipta kerukunan dan ketentraman sesama mahluk sosial.
d. Menghormati tradisi, karenan menghadiri upacara tradisi Sadranan adalah upaya melestarikan tradisi sebagai masyarakat Jawa.
Berdasarkan makna didalam tradisi Sadranan, maka tujuanya utama adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya orang yang sudah meninggal dunia mendapatkan ampunan dan mengharapkan keselamatan bagi yang masih hidup agar terhindar dari malapetaka. Dengan adanya makanan-makanan untuk menginterprestasikan melalui makna dan simbol tersebut, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam kehidupan mereka. Dari penginterpretasian simbol-simbol tersebut, maka terlihat adanya dua arah hubungan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Yaitu hubungan antara vertical dan horizontal. Hubungan vertical menunjukan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai tempat untuk memohon keselamatan. Sedangkan hubungan manusia secara horizontal adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman.
BAB III
PENUTUP
Simpulan
Berdasarkan pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa sadranan adalah suatu rangkaian budaya yang berupa membersihan makam leluhur, tabur bunga, dan puncaknya kenduri slametan dimakam leluhur. Upacara ritual Sadranan di maknai sebagai bentuk upacara peralihan saranan mendoakan orang yang sudah meninggal dan sebagai saranan penghilang petaka. Tradisi Sadranan bertujuan sebagai bentuk upacara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan supaya orang yang sudah meninggal diampuni dosa-dosanya dan tenang dialam kubur.
Tujuan utama sadranan adalah untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya orang yang sudah meninggal dunia mendapatkan ampunan dan mengharapkan keselamatan bagi yang masih hidup agar terhindar dari malapetaka. Dengan adanya makanan-makanan untuk menginterprestasikan melalui makna dan simbol tersebut, kita dapat melihat bagaimana masyarakat Jawa mengartikan simbol-simbol itu dalam kehidupan mereka. Dari penginterpretasian simbol-simbol tersebut, maka terlihat adanya dua arah hubungan yang dilakukan oleh masyarakat Jawa. Yaitu hubungan antara vertical dan horizontal. Hubungan vertical menunjukan hubungan manusia dengan Tuhan sebagai tempat untuk memohon keselamatan. Sedangkan hubungan manusia secara horizontal adalah hubungan antara manusia dengan sesama manusia di dalam kehidupan bermasyarakat untuk menjaga keharmonisan dan ketentraman.
Saran
Dalam menyikapi adat kepercayaan lama, diharapkan bagi semua orang untuk dapat mencermati bentuk kepercayaan tersebut dan mengkaji bagaimana kepercayaan tersebut dibangun. Serta bagi masyarakat Jawa, berkaitan dengan tradisi sadranan tersebut harusnya perlu dilestarikan keberadaannya karena selain sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur sadranan juga difungsikan sebagai bentuk ibadah kepada Allah SWT.
Daftar Pustaka :
Koenjaraningrat. 1990. Pengantar Ilmu Antropologi . Jakarta : Rineka Cipta.
Muhaimin. 2001. Islam Dalam Bingkai Budaya Lokal. Ciputat: PT. Logos Wacana Ilmu.
Saparyati, Siti (Kepala Desa). wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 13.00 -15.00 WIB.
Toha, Muhammad (Tokoh Agama Dan Adat). Wawancara Pribadi. 2 Mei 2018. Jam 15.00 – 17.00 WIB.
Widodo, Aris. 2016. Islam dan Budaya Jawa. Yogyakarta: Kaukaba Dipantara.
Yahya, Ismail. 2009. Adat-Adat Jawa dalam Bulan-Bulan Islam Adakah Pertentangan?. Jakarta Timur: Tiga Serangkai Pustaka Mandiri.
Yahya. Ismail. 2009. Adat-adat Jawa Dalam Bulan-bulan Islam. Jakarta : Inti Media.
Komentar
Posting Komentar